Selasa, 16 Juni 2015

Grosir Batik Yudistira Batik Pekalongan Murah

Hubungi 0812 8110 6669 Batik Nulaba. Grosir Batik Yudistira Batik Pekalongan Murah.Baju batik yang murah dengan kualitas unggulan.Mau?


Grosir Batik Yudistira Batik Pekalongan Murah


Grosir Batik Yudistira Batik Pekalongan Murah.



Penjelasan mengenai cara membatik sangat dibutuhkan khususnya bagi

mereka yang belum mengetahui sama sekali tentang seni batik, sehingga

dapat meningkatkan penghargaan terhadapnya. Dengan melihat polapola

batik saja atau melihat kain batik yang telah jadi, orang tidak akan

paham betapa banyak pekerjaan yang diperlukan untuk membuat sehelai

kain batik dan tidak dapat menduga faktor-faktor teknis dan non-teknis

yang menyebabkan bahwa dalam seni batik tulis selalu terdapat unsur

khusus yang menyebabkan setiap helai kain batik bisa berbeda dari yang

lain walaupun pola dan susunan warnanya dibuat persis sama.

Inilah sebabnya mengapa dirasakan perlu memuat bab mengenai

cara membatik dalam buku pola ini. Perlu ditekankan bahwa kebanyakan

bahan yang dipakai dalam menyusun bab ini diambil dari buku-buku yang

terkenal seperti Rouffaer dan Jasper/Pirngadi ditambah dengan

wawancara-wawancara.


Inti cara membatik ialah “cara penutupan” , yaitu menutupi bagian

kain atau bahan dasar yang tidak hendak diberi warna dengan bahan

penutup, dalam hal ini berupa lilin. Mungkin dalam permulaannya lilin

diteteskan pada kain, oleh karena itu ada faham yang mengembalikan

arti kata batik pada suku kata “tik” yang berarti titik atau tetes.


Bahan utama bagi teknik membatik sekarang ini adalah kain putih,

baik yang halus ataupun yang kasar, dan lilin sebagai bahan

penutupserta zat warna. Kulitas kain putih sangat mempengaruhi hasil

seni batik, dalam bab mengenai sejarah batik telah dikemukakan bahwa

kehalusan kain putih yang di impor dari luar negeri merupakan salah satu

sebab bertambah tingginya seni batik. Jadi makin halus kain putih yang

dipakai makin bagus hasil pembatikan , makin jelas terlihat pola-pola

serta pembagian warna-warnanya. Bahan lain seperti sutera shantung

dapat pula dipakai, tetapi sekarang ini sudah jarang sekali. Kota Juwana

di pantai utara pulau Jawa dahulu termashur akan selendang serta

sarung batik suteranya. Hasil-hasil batik sutera “diekspor” ke pulau Bali

dan Sumatera. Sayang sekali kekurangan bahan sutera shantung murni

menyebabkan hilangnya kerajinan di kota tersebut.


Kalau dahulu dipakai lilin lebah sebagai satu-satunya bahan

penutup, maka dengan adanya industri serta pertambangan minyak

tanah dewasa ini banyak dipakai lilin buatan pabrik (paraffine, microwax,

dll), baik murni atau dicampur dengan lilin alam. Lilin memang merupakan

bahan penutup yang tepat bagi teknik karena mudah dituliskan pada kain,

tetap melekat sewaktu dicelupkan dalam cairan warna, dan mudah pula

dihilangkan apabila tak dipergunakan lagi. Di samping lilin lebah atau

buatan, dahulu juga dipakai bahan penutup lain yaitu bubur beras ketan,

seperti pada kain Simbut Jawa Barat.


Lilin penutup hanya dapat dituliskan dalam bentuk cair; oleh karena

itu pembatik harus memanaskan lilinnya dalam sebuah wajan kecil yang

ditaruh di atas api dalam suatu anglo. Suhu lilin haruslah tepat, tidak

boleh terlalu panas atau terlalu dingin. Kalau terlalu panas, lilin akan jauh

meresap ke dalam kain, sehingga kemudian sukar untuk dibuang,

sedangkan kalau tidak cukup panasnya akan terlalu kental sehingga

sukar keluar dari alat penulis. Oleh karena itu kita lihat pembatik

mengangkat wajannya dari api kalau dilihatnya bahwa lilinnya sudah

terlalu panas.


Lilin cair dituliskan pada kain putih dengan suatu alat yang menjadi

tanda khas seni batik tulis, yaitu canting. Canting terbuat dari bambu dan

tembaga. Gagang atau tempat memegang terbuat dari bambu sedangkan

kepalanya yang dipakai untuk menyendok serta mencucurkan lilin terbuat

dari tembaga. Mulut canting berupa pembuluh bengkok yang besarnya

berbeda-beda dan dari mulut ini melelehlah cairan lilin, dapat

diumpamakan dengan sebuah pulpen. Kain putih yang dilampirkan pada

sebuah gawangan bambu atau kayu dipegang dengan tangan kiri

sebagai tatakan, sedangkan tangan kanan memegang canting.


Seperti diketahui bahwa Pulau Jawa merupakan pusat

berkembangnya batik di Indonesia sehingga istilah-istilah yang lazim

dipakai dalam dunia batik kebanyakan menggunakan kata-kata dalam

bahasa Jawa. Adapun untuk mudahnya sebagai contoh dipakai proses

pembuatan kain soga daerah Surakarta dan Yogyakarta dengan

tatawarna sawo matang (coklat), biru tua atau hitam dan putih, sehingga

tahapan dalam proses batik dalam uraian ini disesuaikan dengan kain

soga tersebut. Pemakaian zat warna kimia yang biasa dipakai sekarang

ini sebenarnya tidak merubah urutan tahap, hanya mempersingkat saja.

Lazimnya dapatlah dibedakan tahap-tahap sebagai berikut:


1.3.1. Pengolahan persiapan kain putih


Pengolahan persiapan kain dimaksudkan supaya lilin mudah melekat dan

tidak mudah rusak sewaktu mencelup, dan disamping itu juga zat-zat

warna mudah meresap. Dahulu bahan tumbuh-tumbuhan merupakan

satu-satunya sumber pengolahan persiapan yang utama, walaupun zatzat

tersebut meresapnya lambat. Pengolahan ini terdiri atas mencuci kain

putih yang telah dipotong-potong dengan air bersih agar supaya hilang kanji perekatnya, kemudian diremas serta direndam dalam minyak jarak

(Ricinus Communis L.) atau kacang (Arachis hypogala). Ini dinamakan

ngetel atau nglyor. Untuk menghilangkan kelebihan minyak, maka kain

direndam dalam air saringan abu merang. Menurut cara modern, merang

ini diganti dengan larutan soda, yang dapat mempercepat waktu dan

lebih mudah dipakai. Pada mulanya diseling-seling dengan penjemuran

dipanas matahari, sehingga memakan waktu berhari-hari. Kain putih yang

telah mendapat pengolahan ini kemudian dilicinkan dengan menaruhnya

di atas sebilah kayu dan memukul dengan pemukul kayu pula

(ngemplong). Dengan demikian kain siap untuk menjalani tahap

selanjutnya.


1.3.2. Menggambar pola


Menggambar pola (nyorek) atau gambaran pertama dengan lilin cair

diatas kain. Pada tahap ini si pembatik yang duduk di atas sebuah

bangku kecil atau bersila di muka gawangannya, menyendok lilin cair dari

wajannya dengan canting lalu mulai membuat garis-garis atau titik-titik

sesuai dengan pola yang dikehendakinya, dengan posisi canting harus

tepat, tidak boleh terlalu miring atau terlalu tegak.


Canting mengikuti pola-pola yang telah digambar terlebih dahulu

oleh seorang tukang pola atau kalau pembatik itu telah mahir sekali ia

akan menggambar luar kepala. Gambaran lilin ini kemudian diteruskan

pada belahan yang kemudian akan menjadi bagian dalam kain batik, oleh

karena itu nama pekerjaan ini ialah nerusi. Itu sebabnya pula mengapa

bahan kain putih yang dipakai tidak boleh terlalu tebal, karena kalau tidak

akan menyukarkan pekerjaan meneruskan gambaran pertama itu.


1.3.3. Nembok


Nembok atau pekerjaan menutupi bagian-bagian yang tidak boleh kena

warna dasar. Bagian kain yang tidak boleh terkena warna dasar, dalam

hal ini warna biru tua, ditutup dengan lapisan lilin tebal yang seolah-olah

merupakan tembok penahan, itulah sebabnya pekerjaan ini dinamakan

menembok, dikarenakan juga dikerjakan pada bagian sebelah dalam

kain. Penembokan adalah tahap penting dalam pembuatan kain batik,

karena apabila lapisan kurang kuat, warna dapat menembus dan akan

merusak seluruh kain atau warna yang telah direncanakan. Selesai

menembok maka kain siap untuk tahap yang berikut yaitu pencelupan

pertama mendapat warna dasar.


1.3.4. Pencelupan pertama


Pencelupan pertama dilakukan untuk mendapat warna dasar biru disebut

“medel”. Dahulu, ketika pencelupan ini dilakukan semata-mata dengan

zat warna yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yaitu indigo atau nila (Indigofera Tinctoria L.), pekerjaan ini memakan waktu berhari-hari,

diselingi dengan penjemuran di tempat yang teduh atau dianginanginkan.


Tukang celup atau pengusaha batik masing-masing mempunyai

rahasia ramuannya sendiri-sendiri yang diwariskan turun temurun.


Berbagai macam bahan dimasukkan ke dalam jambangan celup, dari

gula kelapa, tape, pisang kelutuk sampai kepada potongan-potongan

daging ayam. Semuanya untuk menambah sinar serta gemilangnya

warna biru nila atau indigo yang sampai sekarang belum terkalahkan

indahnya. Dewasa ini, dengan pemakaian zat warna kimia, telah banyak

hilang sifat misterius pencelupan. Zat warna kimia seperti napthol atau

indigosol yang umum dipakai hanya memakan beberapa menit untuk

meresap. Walaupun demikian untuk dapat menghasilkan kain batik yang

baik warnanya, masih tetap diperlukan “tangan dingin” disamping

pengetahuan akan campuran kimia.


1.3.5. Ngerok (nglorod)


Pekerjaan ini maksudnya untuk membuang lilin penutup dari bagianbagian

yang nanti akan diberi warna sawo matang (soga). Caranya ialah

dengan memasukkan kain ke dalam air yang mendidih, sehingga lilin cair

kembali atau dengan jalan mengerik atau mengerok dengan alat cawuk

yang dibuat dari plat seng. Cara pembuatan lilin dengan memasukkan

kain ke dalam air mendidih adalah lebih baik dari mengerok, karena pada

pengerikan mungkin tidak selalu bersih dan teliti sehingga mempengaruhi

gambaran nanti setelah disoga.


1.3.6. Mbironi


Bagian yang telah mendapat warna biru dan yang tidak boleh terkena

soga kemudian ditutup lagi dengan lilin dan pekerjaan ini maka kain telah

siap untuk tahap berikutnya yaitu pencelupan dalam soga untuk

mendapat warna coklat.


1.3.7. Menyoga (mencelup dalam zat warna coklat)


Menyoga berasal dari soga (Peltophorum Ferrugineum Benth), yaitu

salah satu kayu-kayuan yang dipakai untuk mendapat warna coklat.

Untuk mendapat warna coklat ini diperlukan juga berbagai campuran,

masing-masing menurut resep rahasianya sendiri-sendiri berbeda

menurut daerah atau kota.


Ada yang menyukai warna coklat muda keemasan ada yang

senang kepada yang lebih tua kemerahan (Madura) dan lain-lain variasi.

Warna coklat yang berasal dari zat warna kimia tidak memerlukan

pekerjaan yang lama, cukup dengan mencelup dalam campuran warna

yang memakan waktu tidak sampai setengah jam lamanya. Setelah pencelupan dalam soga, maka kain siap dengan pemberian warnanya

dan dapatlah dibuang lilin seluruhnya (nglorod).


Kadang-kadang diperlukan suatu pekerjaan lagi yaitu nyareni yang

gunanya supaya warna coklat itu tetap dan bertambah bagus. Air aren

terdiri atas air kapur dengan campuran beberapa zaat tumbuh-tumbuhan.

Seringkali pekerjaan memberi saren ini oleh beberapa pembatik dianggap

sama pentingnya dengan menyoga. Setelah lilin dibuang seluruhnya

maka tampaklah kain batik dengan warna-warna dasar biru tua dengan

gambaran sawo matang diseling dengan warna putih gading.


Demikian secara singkat tahap-tahap yang harus dilalui sebelum

tercipta sehelai kain batik tulis. Makin sulit pola serta banyak susunan

warnanya semakin lama pula pembuatannya.


Pada permulaan bab ini telah diutarakan bahwa sebagai contoh

diambil pembuatan kain soga corak Yogyakarta atau Surakarta. Hal ini

perlu sebab berbagai daerah di Pulau Jawa ini mempunyai corak serta

keragaman dalam pola serta tatawarna yang dapat menjadi petunjuk

bagi kita darimana asal sehelai kain. Perbedaan pola sebenarnya tidak

terlalu banyak. Dalam bagian berikutnya akan disajikan macam-macam

corak, tatawarna dalam seni batik dari beberapa daerah yang sejak

dahulu terkenal sebagai pusat pembatikan.


Daerah Surakarta dan Yogyakarta yang lazim dianggap sebagai

pusat kesenian batik terkenal karena tatawarna biru tua sebagai warna

dasar, coklat soga dan putih. Dalam pemilihan warna putih saja, kedua

daerah yang letaknya sangat berdekatan itu, berbeda. Kain-kain dari

Yogyakarta warna putihnya itu putih bersih, sedang di Surakarta warna ini

lebih kekuningan gading.


Bergerak ke arah barat, ke daerah Banyumas yang pengaruhnya

terasa sampai ke Tasikmalaya dan Garut, akan terlihat bahwa tatawarna

yang digemari ialah warna kuning keemasan dikombinasikan dengan

soga coklat muda serta biru tua kehitaman.


Di pantai utara Jawa Barat mulai dengan daerah Indramayu, orang

gemar memakai warna biru, tetapi daerah Cirebon sendiri dengan kraton

Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan, mempunyai pusat pembatikan

di Trusmi dan Kalitengah dengan pola serta tatawarna yang khas. Melihat

pola serta warna-warna kain “megamendung” yang memakai teknik

bayangan berlapis kadang-kadang sampai 7 banyaknya orang pasti akan

kagum. Batik “kraton” dengan pola-pola gunung, taman dengan segala

macam binatang berwarna kuning gading tidak kurang indahnya.

Mulai dari daerah Cirebon menyusur pantai ke arah timur sampailah

ke pusat pembatikan daerah Pekalongan dengan kainnya yang berwarna

modern. Kalau dahulu warna-warna ini terbatas pada pemakaian warna

merah, biru, putih dan hijau, maka berkat zat warna kimia tidak terbatas

kemungkinan warna yang dipakai, sehingga kain-kain daerah Pekalongan

dewasa ini paling menyolok tatawarnanya. Terus lagi ke arah timur

menjelajahi daerah utara Jawa Tengah dan Jawa Timur, menjumpai kotakota

batik yang terkenal seperti Kudus, Juwana, Rembang, Lasem, Gresik sampai Surabaya, akan terlihat tatawarna yang khas pula, sangat

terpengaruh oleh selera etnis Tionghoa. Pulau Madura sebagai penutup

bunga rampai ini sejak dahulu mempunyai kegemaran akan warna soga

kemerahan. Warna coklat merah ini diperoleh karena campuran soga

dengan mengkudu (Morinda citrofolia) sebagai penghasil zat warna

merah.


Pemakaian zat warna kimia menghilangkan perbedaan tatawarna

menurut daerah. Pekalongan kini sanggup meniru kombinasi warna dari

berbagai daerah. Surakarta dan Yogyakarta juga demikian. Masingmasing

pusat pembatikan mengikuti selera khalayak ramai mengenai

kombinasi warna tertentu yang paling laku saat itu. Upaya-upaya perlu

dilakukan agar pemakaian zat warna dari tumbuh-tumbuhan ini dapat

hidup kembali dan tentunya tanpa memakan waktu yang lama untuk

memperoleh warna yang diinginkan.


1.4. Pembagian pola batik


Pembagian atau penggolongan pola-pola batik bukanlah pekerjaan yang

mudah, oleh karena itu setiap hasil yang diperoleh akan selalu bersifat

garis besar dan semata-mata dimaksudkan untuk pegangan bagi

pembaca atau peneliti.


Pada permulaan abad ini Rouffaer dalam bukunya mencoba

mengumpulkan nama-nama pola batik yang terkenal dan berhasil

mengumpulkan sebanyak 3000 macam. Dalam jangka waktu sejak

ditulisnya buku tersebut sampai kepada terbitnya buku ini tentu seni batik

terus mengalami perkembangan, demikian pula pola-pola bertambah

banyak jenisnya, berganti-ganti muncul dan hilang mengikuti perubahan

selera pemakaiannya. Pola batik dapat dibagi menjadi dua yaitu: pola

geometris dan pola non-geometris.


1.4.1. Pola geometris


Pola “banji”


Pola Banji termasuk salah satu pola batik yang tertua, berupa silang yang

diberi tambahan garis-garis pada ujungnya dengan gaya melingkar

kekanan atau kekiri. Motif yang seperti ini terkenal di berbagai

kebudayaan kuno di dunia ini dan sering disebut swastika. Di Nusantara

pola ini tidak terbatas pada seni batik saja, tetapi dapat dijumpai pula

sebagai hiasan benda-benda lain yang tersebar dibanyak pulau.

Nama “Banji” berasal dari kata-kata Tionghoa “Ban’ berarti sepuluh,

dan “Dzi” yang artinya ribu, perlambang murah rejeki atau kebahagiaan

yang berlipat ganda. Melihat atau mendengar nama ini, maka dapat

diperkirakan bahwa pola banji masuk ke dalam seni batik sebagai akibat

pengaruh kebudayaan Tionghoa. Seperti telah diketahui bahwa pada tahun 1400 Masehi, di pantai utara

Pulau Jawa telah banyak orang-orang Tionghoa yang menetap, dan yang

dalam pada itu tentu membawa perbendaharaan kebudayaan mereka

yang kuno dan kaya itu. Hal ini nampak pada banyaknya peninggalan

berupa barang pecah belah Tionghoa yang sampai kini masih tersebar di

pantai utara dan di banyak bagian lain kepulauan Indonesia, sehingga

tidaklah mustahil bahwa penduduk asli yang sudah lama berkenalan

dengan para pendatang Tionghoa mengambil serta meniru pola-pola

hiasan.


Mereka yang menyangkal pengaruh kebudayaan Tionghoa

menunjuk kepada nama Jawa asli yang dipakai untuk pola ini yaitu :

Balok bosok, artinya kayu yang busuk, karena pola banji menyerupai

balok-balok bersilang yang dimakan bubuk.


Pola banji dalam seni batik mengalami bermacam perubahan dan

diberi hiasan-hiasan tambahan, misalnya seringkali diseling dengan

daunan atau rangkaian bunga-bungaan, sedemikian rupa hingga sukar

untuk mengenal kembali silang banjinya.


Pola “ceplok” atau “ceplokan”


Pola yang sangat digemari, terdiri atas garis-garis yang membentuk

persegi-persegi, lingkaran-lingkaran, jajaran-jajaran genjang, binatangbinatang

atau bentuk-bentuk lain bersegi banyak. Bila diteliti benar-benar

maka terlihat bahwa pola ceplok ini berupa stiliring atau abstraksi

berbagai benda, misalnya saja bunga-bunga kuncup, belahan-belahan

buah, bahkan binatang-binatang. Itulah sebabnya banyak diantara motifmotif

ini memakai nama kembang atau binatang.


Selain sangat digemari pola ini juga sangat tua usianya, hal ini

terlihat pada beberapa peninggalan candi terdapat hiasan-hiasan yang

menyerupai atau mengingatkan kita pada pola ceplok ini. Dalam

golongan pola ceplokan ini dapat juga dimasukkan pola yang lazim

dikenal dengan nama pola ganggong. Berbagai-bagai tafsiran para ahli

mengenai asal-usul pola ini. Jasper dalam bukunya yang terkenal

mencari asalnya pada semacam tumbuh-tumbuhan dipaya-paya yang

buahnya kalau dibelah dua menunjukkan gambaran yang mirip dengan

pola batik ganggong. Tetapi harus diingat bahwa inipun hanya salah satu

diantara sekian banyak keterangan mengenai asal pola ini. Ada yang

menganggap pola genggong sebagai pola yang berdiri sendiri, karena

menunjukkan beberapa ciri yang khas, berupa binatang-binatang atau

silang-silang yang ujung jari-jarinya melingkar seperti benang sari bunga.

Pola ganggong inipun mengalami bermacam-macam variasi.


Pola “kawung”


Pola ini sebenarnya dapat digolongkan dalam motif ceplokan, tetapi

karena kunonya dan juga karena sifat-sifatnya yang tersendiri dijadikan

golongan yang terpisah.


Pola ini tergolong kuno, hal ini dapat dilihat pada pahatan/ukiran

Candi Prambanan yang didirikan kira-kira pada abad VIII Masehi dan

juga pada beberapa peninggalan lain. Mengenai asal-usul pola ini

terdapat perbedaan faham. Ada yang mengembalikan pola ini kepada

buah pohon aren atau kawung, karena belahan buah aren itulah yang

menjadi dasar pola kawung. Tetapi Rouffaer misalnya, berpendapat

bahwa pola kawung berasal dari suatu pola kuno yang lain yaitu pola

grinsing. Pola grinsing ini telah disebut dalam sumber-sumber tertulis

silsilah raja yang bernama Pararaton (abad ke-14). Pola yang terdiri atas

lingkaran-lingkaran kecil dengan sebuah titik di dalamnya tersusun

seolah-olah sisik ikan atau ular, menjadi penghias latar/dikombinasikan

dengan motif lain. Sumber-sumber dari Jawa Timur tahun 1275

menyebutnya bersamaan dengan motif wayang, misalnya grising. Grising

inilah kemudian berkembang serta berubah menjadi pola kawung. Pola

kawungan bermacam-macam ragamnya, berbeda menurut besarkecilnya

ukuran yang dipakai, sangast digemari di kalangan Kraton

Yogyakarta tempat ia pernah menjadi pola larangan, artinya yang dalam

bentuk murninya hanya boleh dipakai oleh Sri Sultan serta keluarganya

yang terdekat.


Pola “nitik”


Dari nama pola ini orang akan mendapat kesan sifat atau rupanya, yaitu

titik-titik atau garis-garis pendek yang tersusun secara geometris,

membentuk pola yang meniru tenunan atau anyaman. Mereka yang

mencari asal-usul teknik batik pada tetesan atau titik-titik lilin (kata tik),

menganggap pola ini sebagai pola yang tertua. Diantara sekian banyak

pola nitik, yang terkenal ialah pola Cakar Ayam dan Tirtateja.


Pola garis miring

Merupakan pola yang susunannya miring atau diagonal secara tegas.

Ada dua macam pola yang termasuk golongan ini yaitu pola parang dan

lereng.


Pola yang paling terkenal serta digemari diantara pola garis miring

ini adalah pola parang. Adapun tanda atau ciri pola parang ini ialah lajurlajur

yang terbentuk oleh garis-garis miring yang sejajar berisikan garisgaris

pengisi tegak, dan setiap lajur terpisah dari yang lain oleh deretan

ornamen yang bergaya miring juga, dinamakan mlinjon. Kata mlinjon

dipakai disini oleh karena motif pemisah tadi berbentuk jajaran genjang

kecil, menyerupai buah mlinjo. Nama parang ialah nama pencakup, sebab motif inipun mempunyai banyak ragam. Yang termasyur

diantaranya ialah pola Parang Rusak. Banyak teori dan pendapat

dikemukakan orang berhubung dengan asal-usul pola ini. Ada yang

mencari akarnya dalam sejarah Jawa kuno, misalnya dengan Raden

Panji. Nama parang sering mengingatkan orang pada pisau atau keris,

itulah sebabnya ada yang mencari sumber pola ini pada stiliring daripada

keris atau pisau. Sering pula dikatakan, bahwa lahirnya pola ini diilhami

oleh tokoh Sultan Agung dari Mataram (1613 – 1645). Tetapi telah

menjadi kenyataan bahwa pola Parang Rusak menjadi larangan, artinya

hanya boleh dipakai oleh sang raja sendiri atau keluarganya yang

terdekat. Hal ini masih dipegang teguh sampai sekarang di dalam

lingkungan tembok kraton, walaupun diluar istana tidak dihiraukan lagi

larangan ini. Nama-nama yang diberikan kepada beberapa macam pola

Parang Rusak berbeda menurut ukuran polanya. Parang rusak dengan

ukuran yang terkecil dinamakan Parang Rusak Klitik, yang agak besar

dinamakan Parang Rusak Gendreh, dan yang terbesar Parang Rusak

Barong. Pola yang disebut terakhir ini mempunyai proporsi serta

kesederhanaan pola yang menimbulkan suasana keagungan, hingga

dapatlah dimengerti mengapa dikalangan istana Jawa Tengah dianggap

keramat dan hanya boleh dipakai oleh sang raja sendiri atau sebagai

sajian tertentu kepada para leluhur.


Motif-motif lain dapat pula disusun menurut pola garis miring dan

contoh yang terkenal ialah pola udan liris dan rujak senthe, yang karena

kehalusan motif-motif yang disusun miring itu seolah-olah menyerupai

hujan rintik-rintik atau liris.


1.4.2. Pola Non-Geometris


Pembuatan pola-pola non-geometris ini tidak terbatas karena si pencipta

pola tidak begitu terikat oleh ukuran atau gaya-gaya tertentu. Walaupun

demikian akan terlihat bahwa tradisi masih memegang peranan yang

penting mengenai tata susunan pola.


Pola Semen


Semen berasal dari kata “semi+an” yang berarti kuncup-kuncup, daun

dan bunga-bunga. Untuk memberi pegangan dalam membedakan sekian

banyak macam pola semen, para penyelidik batik membuat pembagian

berdasarkan beberapa persamaan yang terlihat, yaitu :


• Pola semen yang hanya terdiri atas kuncup daun-daunan

serta bunga-bunga (misalnya : pola pisang Bali, kepetan).


• Pola semen yang terdiri atas kuncup-kuncup, daun serta

bunga-bungaan dikombinasikan dengan motif binatang

(misalnya: pakis, peksi, endol-endol, merak kesimpir).


• Pola semen yang terdiri atas gambaran tumbuh-tumbuhan,

binatang-binatang, ditambah dengan motif sayap atau Lar.

Motif Lar atau sayap ini merupakan pelengkap pada pola

semen, dan dalam perbendaharaan ornamen batik mengenal

tiga bentuk yaitu : Lar, Mirong dan Sawat. Lar berupa sayap

tunggal, sedangkan Mirong ialah sayap kembar. Motif Sawat

yang sejak dahulu kala dianggap sebagai pola raja-raja

adalah sayap kembar lengkap dengan ekor yang terbuka.

Asal-usul motif sawat tidak jelas, Rouffaer menggalinya

dalam sejarah perlambang kerajaan Mataram di bawah

Sultan Agung, sebagai lambang kejayaan.


Masih banyak lagi pola-pola yang tidak bersifat geometris. Daerah

yang terkenal dengan nama Pesisir dimana orang tidak begitu terikat oleh

tradisi kraton-kraton, menjadi tempat asal pola yang beraneka ragam.


Cirebon dengan pola-pola tidak geometris yang menggambarkan

gunung-gunung, batu-batu, kolam-kolam serta binatang-binatang diselingi

dengan rangkaian tumbuh-tumbuhan serta bunga-bungaan.

Pola seperti yang terdapat dalam selendang-selendang sutera atau

Lookcan dari Pantai Utara Jawa Tengah dan Timur, dengan burungburung,

bunga-bunga serta binatang-binatang lain, memperlihatkan

campuran pengaruh berbagai ragam seni hias yang berasal dari berbagai

kebudayaan. Semuanya itu kita coba sajikan dalam buku ini. Mudahmudahan

dapat memberikan gambaran kepada para pembatik dan

penggemar seni batik tentang kekayaan pola-pola seni batik Indonesia.




Grosir Batik Yudistira Batik Pekalongan Murah

#GrosirBatik, #PekalonganMurah, #YudistiraBatik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar